Chaer (2003:30)
menyebutkan bahwa bahasa adalah alat verbal untuk komunikasi. Sebelumnya
(1994), ia menegaskan bahwa bahasa sebagai “suatu lambang bunyi yang bersifat
arbitrer yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi
dan mengidentifikasi diri”.
Bahasa bukan
hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini menyebutkan
bahwa dalam penggunaannya bahasa (language in use) merupakan bagian dari
pesan dalam komunikasi. Dalam bahasa Brown dan Yule, hal ini disebut dengan
istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada kebiasaan dan
kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai media/alat berkomunikasi.
Para ahli sepakat bahwa
bahasa adalah “alat” dalam berkomunikasi, sebagai alat tentunya ada yang
menggunakan alat tersebut sehingga ia dapat dimanfaatkan (sebagai komunikasi).
Dalam hal ini pengguna atau pemanfaat bahasa adalah manusia (terlepas kajian
ada tidaknya bahasa juga digunakan oleh hewan) yang selanjutnya disebut sebagai
penutur. Orang atau manusia yang mendengar atau yang menjadi lawan penutur
disebut dengan “lawan tutur” atau “pendengar” atau “lawan bicara”. Dalam
interaksi antara penutur dan lawan tutur inilah timbul beberapa perilaku
berdasarkan pemikiran masing-masing sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya.
Budaya dan kebiasaan ini akan berbeda tergantung siapa dan di mana bahasa atau
pengguna bahasa itu berada.
Dalam interaksi sosial,
kita tidak jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau kita sampaikan
kepada lawan bicara tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan memahami pesan
ini disebabkan beberapa faktor, antara lain: beda usia, beda pendidikan, beda
pengetahuan, dan lain-lain. Selain itu, faktor budaya juga berhubungan dengan
bahasa (Hodgson:1990:169). Kata “Kamu” dan “Kau” misalnya, diucapkan berbeda
dalam konteks budaya berbeda. Sebutan “Bapak” di negara yang menggunakan bahasa
pengantarnya adalah bahasa Inggris tidak cenderung digunakan. Masyarakat
penutur bahasa Inggris akan langsung menggunakan sebutan nama diri/nama orang
kepada lawan bicara yang lebih tua sekalipun. Hal yang wajar bagi masyarakat
penutur bahasa Inggris ini tentu saja tabu jika dipakai oleh penutur bahasa
Melayu atau Indonesia. Bahkan, akan lebih tabu lagi jika dipakai dalam
masyarakat Aceh yang terkenal kental adat istiadatnya dalam menghormati orang
lebih tua.
Pemilihan kata-kata yang
sesuai untuk kepentingan interaksi sosial sangat tergantung kepada budaya
tempat bahasa itu digunakan. Ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh
Sumarjan & Partana (lidahtinda.wordpress.com:2009) bahwa bahasa sering
dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial atau budaya
tertentu, bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku
masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh
masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa bisa dianggap sebagai cermin zamannya.
Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam
masyarakat, tergantung kultur daerah yang bersangkutan.
Bahasa sebagai hasil
budaya atau kultur mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam bahasa
Bali misalnya, terdapat ungkapan berbunyiDa ngaden awak bisa ‘jangan menganggap diri ini mampu’ mengandung
nilai ajaran agar orang jangan merasa mampu; yang kira-kira senada dengan
ungkapan dalam bahasa Jawa, rumongso
biso, nanginging ora biso rumongso ‘merasa
mampu, tetapi tidak mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain’. Dalam
bahasa Aceh pun ada ungkapan ubiet
takalon geuhön tatijik ‘kecil
kita lihat, (tapi) berat dijinjing. Bahasa-bahasa (ungkapan) tersebut memiliki
ciri khas budaya masing-masing penuturnya yang tak pula terlepas dari konteks.
Dede Oetomo (Sumarsono
dan Partana, 2002:336) menyebutkan
bahwa bahasa juga dapat mempengaruhi kelompok. Anggapan ini berdasarkan
pengamatannya terhadap etnik Cina di Pasuruan dengan melihat tutur masyarakat
Cina di sana sehari-hari. Ia berkesimpulan bahwa masyarakat Cina dapat
dikelompokkan menjadi Cina
Totok dan Cina Peranakan. Ini menunjukkan
bahwa bahasa itu dapat mencerminkan identitas kelompok. Bahasa yang tidak dapat
terlepas dari budaya juga dibuktikan oleh Blom dan Gumperz (Sumarsono dan
Partana, 2002:338). Berdasarkan penelitiannya pada tahun 1972 terhadap sebuah
guyup di Norwegia yang menggunakan dialek lokal dan ragam regionalbokmal (satu dari dua ragam baku bahasa
Norwegia) terbukti bahwa masyarakat pengguna dialek masing-masing itu mengalami
perbedaan penyampaian bahasa sebagai media komunikasi, terutama saat sampai
pada di mana dan tujuan komunikatif apa mereka menggunakan bahasa tersebut. Ada
bentuk-bentuk tertentu yang digunakan para penutur dari kedua dialek berbeda
itu dalam menandai inferensi (simpulan) tak langsung terhadap komunikasinya,
yang hanya dapat dipahami oleh penutur dari dialek tersebut.
Dalam kaitannya dengan
bahasa dan budaya, ada beberapa teori yang muncul, antara lain;
a. Teori
Wilhelm Von Humboldt
Teori ini dikemukakan
oleh Wilhelm Von Humboldt, seorang sarjana Jerman abad ke-19 yang sangat
terkenal. Inti teorinya adalah manusia
sebagai makhluk sosial berkomunikasi, bersikap, dan berperilaku sebagai
presepsinya. Dan proses itu menyatu antara bahasa dan persepsinya. Von Humboldt menekankan
ketergantungan manusia pada bahasa. Demikian juga kaitannya dengan budaya,
semakin dikenal dan dipahami bahasanya semakin baik juga identitas dirinya.
Menurut Von Humboldt,
substansi bahasa terdiri atas sebagian bunyi-bunyi dan sebagian pikiran yang
belum terbetuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh Lautform dan pikiran-pikiran dibentuk
oleh Ideenform/Innereform. Jadi, menurut Von Humboldt, bahasa adalah suatu
sintetis dari kedua bentuk ini yaitu bentuk bunyi (Luatform) dan bentuk pikiran
(Ideenform) (Simanjuntak, 1983:244).
b. Teori
Revalitas Linguistik dari Sapir dan Whorf
Edward Sapir (1884-1939)
adalah seorang sarjana Amerika yang meneliti hubungan bahasa dan berpikir.
Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini karena belas kasihan
bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam masyarakatnya. Lebih lanjut
Sapir mengatakan bahwa budaya masyarakat sebagian besar dibentuk dari perilaku
bahasa masyarakatnya (Sapir, 1921: 162). Oleh karena itu, Sapir menyatakan
bahwa bahasa adalah suatu pedoman bagi suatu realitas sosial. Bahasa juga sudah
menentukan pilihan-pilihan interpretasi tertentu terlebih dahulu.
Benyamin Lee Whorf
(1897-1941) seorang murid Sapir, setelah banyak meneliti bahasa Suku Indian,
seperti bahasa Aztec di Mexico dan terutama bahasa Hopi di California yang
dihubungkannya dengan pengalamannya sewaktu dulu ia bekerja sebagai pakar
pencegah kebakaran di sebuah kilang. Mendapati dasar untuk menolak pandangan
klasik tentang hubungan bahasa dan berpikir.
Whorf menyatakan bahasa yang menentukan pikiran seseorang itu
kadangkala dapat berakibat pada
bahasa seseorang. Setelah melakukan penelitian terhadap bahasa Hopi, Whorf
merumuskan suatu hipotesis yang sangat terkenal yaitu teori relativitas
linguistik atau hipotesis Whorf atau hipotesis Sapir – Whorf. Inti teori
relativitas ini adalah para
peneliti tidaklah dibimbing oleh bukti fisik yang sama untuk mendapatkan
gambaran- gambaran hidup yang sama, kecuali latar belakang linguistik mereka
sama atau dapat disamakan dengan satu cara. Bahasa-bahasa yang berbeda mengkaji
alam ini dengan cara-cara yang berlainan, sehingga terciptalah suatu
relativitas sistem-sistem konsep yang berlainan pula tergantung pada bahasa
yang beragam itu. Tatabahasa suatu bahasa tidak hanya merupakan alat penyampai
ide semata tetapi merupakan pembentuk ide. Tatabahasalah yang menentukan jalan
pikiran seseorang bukan kata-katanya (Simanjuntak,
1983:245-246).
No comments:
Post a Comment